BAB 4 Pelanggaran Hak Cipta Dan Upaya Hukumnya(3)

RuangBuku.id – Kami melayani jasa self publishing, jasa penerbitan buku, jasa penulisan buku, jasa editing buku untuk bahan ajar ataupun untuk keperluan lain Namun, sebelum itu, anda bisa menyimak bahasan di bawah ini BAB 4 Pelanggaran Hak Cipta Dan Upaya Hukumnya

  1. Penyelesaian Hukum

Penyelesaian atas permasalahan hukum di internet tidak terlepas dari pembahasan mengenai keberadaan yurisdiksi, sebab hal ini terkait dengan penerapan hukum di lingkungan yang tidak mengenal batasan wilayah dan geografis suatu negara.

Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara, dan prinsip merdeka dari campur tangan negara lain. Yurisdiksi juga merupakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang dapat mengubah, menciptakan, atau mengakhiri suatu hubungan atau kewajiban hukum.

Dalam hal ini, Darrel Menthe menyatakan: Yurisdiksi di internet (cyberspace) membutuhkan prinsip-prinsip yang jelas yang berakar dari hukum internasional. Hanya melalui prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional, negara-negara

dapat dihimbau untuk mengadopsi pemecahan yang sama terhadap pertanyaan mengenai yurisdiksi internet,

Pemerintah umumnya dapat dengan mudah mengendalikan dan menerapkan hukum di dalam wilayah kedaulatan negaranya. Namun, tidak demikian terhadap aktifitas-aktifitas on-line yang letak atau lokasinya secara fisik dapat berubah sewaktu wakru, bahkan hanya dapat dibayangkan.102 Misalnya, orang-orang yang terpisah jarak ribuan kilometer dapat berinteraksi dan bertatap muka melalui fasilitas chating dalam ruang publik atau privat di internet. Hal ini menjadi semakin kompleks dengan hadirnya fasilitas internet pada komunikasi mobile atau pun laptop (notebook).

Permasalahan ketika menentukan pilihan hukum dan yuridiksi telah mengakibat kan berbagai pemikiran tentang bagaimana mendekati permasalahan tersebut. Salah satu pemikiran yang timbul adalah menempatkan internet sebagai ruang internasional keempat (seperti halnya Antartika, Luar Angkasa, dan Samudera), os

Tantangan hukum di internet terbilang banyak dan membutuhkan perhatian serius semua pihak. Di samping HKI, terdapat berbagai permasalahan hukum lain, seperti masalah sistem pembayaran, carding, cracking, phising, viruses, cybersquating, pornografi, penipuan, perpajakan, kontrak, dan lain sebagainya. Begitu pula halnya masalah pembuktian dengan menggunakan data elektronik, di mana belum semua negara mengatur mengenai hal ini. 104

  1. Penyelesaian Hukum Lintas Negara

Pemanfaatan teknologi digital di lingkungan yang tidak mengenal batas yuridiksi serta penggunaan internet oleh siapa saja dan kapan saja di seluruh dunia, meng akibatkan internet menjadi jaringan informasi dan komunikasi yang bersifat terbuka. Hal ini yang kemudian menjadi alasan bagi diperlukannya sebuah landasan untuk menentukan hukum yang digunakan, guna menangani kasus atau sengketa hukum yang terjadi.

Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku ini, dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu sebagai berikut.105

  1. Asas subjective territoriality Asas ini menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
  2. Asas objective territoriality

Asas ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum di mana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.

  1. Asas nationality

Asas ini menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.

  1. Asas passive nationality

Asas ini menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.

  1. Asas universality. 106

Asas protective principle Asas ini yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pe merintah. Asas universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus di internet. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya, asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara, dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas yurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer cracking, carding, hacking viruses, dan lain-lain. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan yang sangat serius berdasarkan per kembangan dalam hukum internasional

Menurut Romli Atmasasmita, 17 di dalam masalah yurisdiksi hukum pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan teknologi informasi yang berdampak pada aspek ekstrateritorial, sangat erat terkait dengan status hukum “pelaku” sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 55 KUHP dan prinsip-prinsip yurisdiksi hukum pidana yang selama ini telah diakui dalam hukum pidana yang berlaku di seluruh negara.

Namun, jika terjadi konflik yurisdiksi hukum pidana dalam kaitan kejahatan yang menggunakan teknologi informasi, hingga saat ini belum ada suatu lembaga internasional yang memiliki wewenang untuk memutuskan yurisdiksi negara yang berwenang untuk menuntut dan mengadili kasus dimaksud.

Sekalipun demikian, prinsip umum hukum internasional sudah mengakui bahwa pilihan yurisdiksi hukum pidana terhadap cyber crime yang bersifat transnasional merupakan wewenang negara locus delicti, yaitu dilihat dari sisi nasionalitas pelaku atau korban di tempat sarana teknologi komputer itu digunakan. Selain dari negara locus delicti, juga telah diterima prinsip yurisdiksi yang bersifat optional bahwa negara lain yang telah dirugikan karena kejahatan transnasional tersebut dapat mengajukan klaim yurisdiksi yang sama, 10%

Di Indonesia sendiri, sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE), yurisdiksi yang berlaku diterapkan untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana telah diatur oleh undang-undang ITE, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia dengan mengacu kepada prinsip universal interest jurisdiction.

Dalam Pasal 2 UU ITE dinyatakan bahwa: Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Kemudian, Pasal 36 UU ITE menyatakan larangan terhadap setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan ke rugian bagi orang lain. Kemudian, hal ini dipertegas dengan Pasal 37 UU ITE yang menyatakan bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 termasuk orang yang melaksanakan aksinya dari luar wilayah Indonesia, dapat dikenakan sanksi menurut UU ITE selama perbuatan tersebut membawa kerugian terhadap sistem elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 juga mengakui adanya perlindungan hak kekayaan intelektual. Informasi elektronik atau dokumen elektronik yang disusun menjadi suatu karya intelektual dalam bentuk apa pun harus dilindungi undang undang yang berkaitan dengan HKI. Hal ini logis, sebab informasi elektronik memiliki nilai ekonomis bagi pencipta atau perancangnya.

Adanya unsur asing, seperti kewarganegaraan, domisili, serta tempat pelaksana an kontrak, menjadikan Hukum Perdata Internasional (HPI) terkait pada kasus atau sengketa di internet. Melalui HPI akan ditentukan tentang kompetensi forum (pengadilan atau arbitrase) dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut.

50

Terdapat dua prinsip kompetensi dalam HPI: pertama, the principle of basis of presence yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan untuk mengadili ditentu kan oleh tempat tinggal tergugat. Kedua, principle of effectiveness yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan oleh letak harta benda tergugat berada Prinsip kedua ini penting untuk diperhatikan berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan asing (enforcement of foreign judgement).

Setidaknya terdapat tiga kemungkinan mengenai hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hukum perdata internasional, antara lain sebagai berikut.

  1. Lex loci delicti commisi, yaitu hukum dari tempat terjadinya pelanggaran atau penyelewengan perdata.
  1. Lex fori, yaitu hukum di mana tempat perbuatan tersebut diadili.
  2. Lex propria delicti (the proper law of the tort), hal ini diuraikan dalam the second Restatement of Conflict of the American Law Institute, yaitu the local law of the state which has the most significant relationship with the occurrence and with the parties. Menurut teori ini, hukum yang dipakai dalam penyelesaian kasus yang terkait dengan hukum perdata internasional ialah hukum dari negara yang memiliki kaitan paling erat dengan peristiwa hukum yang terjadi dan para pihak yang terlibat.

Kehadiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektonik di Indonesia tidak terlepas dari keberadaan dan usaha yang dilakukan oleh beberapa organisasi internasional yang mencoba mengatur mengenai permasalahan ini, di antaranya The United Nations Commissions on International Trade Law (UNCITRAL), World Trade Organization (WTO), Uni Eropa (EU), dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Masing-masing organisasi mengeluarkan peraturan (model law) yang saling melengkapi satu sama lain.

UNCITRAL misalnya, organisasi internasional yang bernaung di bawah PBB ini, dikenal sebagai yang pertama kali melakukan pembahasan mengenai perkembangan teknologi informasi dan dampaknya terhadap industri dan bisnis secara elektronik, termasuk menyangkut perdagangan perangkat lunak. Hasil kerja dari UNCITRAL ialah berupa Model Law yang sifatnya tidak mengikat, tetapi menjadi rujukan atau model bagi negara-negara di dunia untuk mengadopsi atau memberlakukannya dalam hukum nasional,12

Begitu pula yang telah dilakukan oleh Uni Eropa, yaitu dengan dihasilkannya Convention on Cyber Crime 2001 sebagai instrumen hukum internasional yang me ngatur masalah kejahatan di internet (cybercrime). Konvensi ini pada awalnya dibuat

oleh Uni Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi oleh negara-negara di dunia yang memiliki komitmen untuk mengatasi kejahatan di internet,

Beberapa pertimbangan yang mendasari lahirnya konvensi ini, di antaranya masyarakat internasional semakin menyadari perlunya kerja sama antarnegara dan industri dalam memerangi kejahatan dan pelanggaran hukum di internet, serta adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah di dalam penggunaan dan pe ngembangan teknologi informasi, 114

demikian referensi buku dengan judulBAB 4 Pelanggaran Hak Cipta Dan Upaya Hukumnya(3) apabila membutuhkan layanan jasa self publishing, jasa penerbitan buku, jasa penulisan buku, jasa editing buku untuk bahan ajar ataupun untuk keperluan lain Dapat menghubungi admin RuangBuku