Psikologi Pendidikan 3-13

RuangBuku.id – Kami melayani jasa self publishing, jasa penerbitan buku, jasa penulisan buku, jasa editing buku untuk bahan ajar ataupun untuk keperluan lain Namun, sebelum itu, anda bisa menyimak bahasan di bawah ini mengenai Buku Ajar Psikologi Pendidikan .

Pendahuluan

Tren Perkembangan Moralitas dan Perilaku Prososial

Kebanyakan anak menunjukkan perlaku yang lebih bermoral dan prososial seiring bertambahnya usia merca. Tabel 3.4 menjelaskan bentuk-bentuk perilaku bermoral dan prososial yang khas di berbagai jenjang pendidikan. Beberapa materi dalam tabel mencerminkan tren perkembangan di bawah ini:

          • Sejak usia dini, anak mulai menggunakan standar-standar internal untuk mengevaluasi perilaku. Bahkan anak-anak prasekolah sekalipun telah memiliki pemahaman bahwa perilaku yang mengakibatkan gangguan fisik ataupun psikologis itu salah (Helwig. Zelazo, & Wilson. 2001: J. M. Kim & Turiel, 1996). Pada usia 4 tahun kebanyakan anak memahami bahwa tindakan yang membahayakan orang lain adalah tindakan yang salah. terlepas dari apa yang mungkin dikatakan figur-figur berwenang kepada mereka, dan juga terlepas dari konsekuensi yang mengikuti tindakan yang mungkin diakibatkan oleh tindakan tersebut (Laupa & Turiel. 1995; Smetana, 1981: Tisak, 1993).

            • Anak-anak semakin mampu membedakan antara pelanggaran moral dan pelanggaran konvensional. Hampir semua kebudayaan melarang beberapa perilaku pelanggaran moral (monal transgresion)-karena perilaku-perilaku tersebut dapar menyebabkan kerusakan atau kerugian, melanggar hak asasi manusia, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, dan keadilan. Kebudayaan juga melarang sejumlah perilaku lain-pelanggaran konvensional (conventional transgression-yakni perilaku-perilaku yang, meskipun etis, melanggar pemahaman yang sudah dianur secara luas mengenai cara berperilaku yang tepat (misalnya. seorang anak tidak boleh memaki orang dewasa atau bersendawa saat makan). Pelanggaran konvensional lazimnya terikat budaya tertentu. Sebagai contoh, meskipun bersendawa saat makan merupakan hal yang tidak disukai dalam budaya Barat, orang-orang dari budaya tertentu menganggap bersendawa sebagai bentuk pajian terhadap juru masak. Sebaliknya, banyak pelanggaran motal bersifat universal (Nucci. 2001; Turiel, 2002).

           Anak-anak prasekolah juga telah menyadari bahwa tidak semua tindakan selalu bisa dipandang secara hitam-putih, benar -alah: dan bahwa pelanggaran terhadap standar-standar moral memiliki dampak (dan sanksi) yang lebih berat dibandingkan perilaku-perilaku buruk lainnya (Nucci & Weber. 1995. Turiel, 1983: Yau & Smetana, 2003), Kesadaran anak mengenai norma-norma sosial masih belum sempurna semasa kanak-kanak awal, namun meningkat sepanjang masa-masa sekolah dasar (Helwig & Jasobedika, 2001. Laupa & Turiel, 1995; Nucci & Nucci, 1982). Meskipun begitu, anak-anak dan orang dewasa tidak selalu sependapat mana perilaku yang tergolong pelanggaran moral, mana yang tergolong pelanggaran konvensional, dan mana yang sekedar merupakan persoalan pilihan pribadi. Sebagai contoh, orang dewasa pada umumnya memandang penyalahgunaan NAPZA sebagai pelanggaran moral, namun beberapa remaja menganggap hal tersebut dapat diterima sejauh tidak membahayakan orang lain (Berkwitz. Guerra, & Nucci. 1991: Nucci, 2001).

         Bahkan sebelum memasuki usia sekolah, anak-anak telah mampu menunjukkan tanda tanda perasaan bersalah (guilt)-sebuah perasaan ketidaknyamanan saat menyadari bahwa mereka telah membuat orang lain terganggu atau menderita (Kochanska, Gross, Lin, & Nichols, 2002). Pada saat anak mencapai tingkat pertengahan sekolah dasar, kebanyakan dari mereka juga sudah mengenal rasa malu (shame): mereka merasa malu ketika gagal memenuhi standar berperilaku secara moral (Damon, 1988; Harter, 1999;

M. 1. Hoffman, 1991). Baik rasa bersalah maupun rasa malu, sekalipun merupakan emosi yang tidak menyenangkan, merupakan penanda yang baik bahwa anak-anak sudah mengembangkan pemahaman megnenai yang benar dan yang salah dan akan berusaha keras memperbaiki kelakuan baruk mereka (Fisenberg, 1995; Harter 1999, Narvact & Rest. 1995)

           Rasa bersalah dan rasa malu muncul ketika anak-anak yakin bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang salah. Sebaliknys, empati (empathy)-mengalami perasaan sang sama seperti yang dirasakan seseorang yang sedang dalam kesusahan muncul tanpa adanya perilaku yang salah yang telah dilakukan anak bersangkutan. Kemampuan berempati muncul pada tahun-tahun prasekolah dan terus berkembang sepanjang masa kanak-kanak dan dewasa (Essenberg, 1982, Fisenberg et. al. 1986, 1995) Pada masa masa awal sekolah dasar, siswa menunjukkan empati terutama terhadap orang-orang yang mereka kenal seperti teman pergaulan dan teman sekelas. Meski demikian. saat memasuki masa-masa akhir sekolah dasar, mereka mulai bisa merasakan empati terhadap orang-orang yang tidak mereka kenal orang miskin. gelandangan, dan orang-orang yang mengalami musibah yang besar (Damon, 1988; Enenberg, 1982: Hottman, 1991).

           Anak yang sangat prososial yang menolong orang lain sekalipun mereka tidak melakukan kesalahan apapun biasanya memiliki kemampuan yang besar dalam hal mempertimbangkan perspektif orang lain dan empati (Damon. 1988; Eisenberg. Zhou, & Koller, 2001: Hoffman, 1991). Secara khusus, empati bisa memacu tingkah laku prososial ketika berubah menjadi simpati tympathy), yakni saat anak-anak tidak hanya ikut memiliki perasaan yang sama dengan orang lain terapi juga peduli terhadap kebaikannya (Barson, 1991. Essenberg & Fabes, 1998: Turiel, 1998).

           • Seiring bertambahnya usia, penalaran mengenai isu-isu moral menjadi semakin berbentuk abstrak dan fleksibel. Untuk mengetahui pemikiran anal mengenai isu-isu moral, para peneliti terkadang menyajikan dilema moral (maaf dilemu, yaknu situasi saat hak atau kebutuhan dua orang (atau lebih) saling bertentangan satu sama lain dan tidak terdapat respons benar-salah yang tegas. Latihan di bawah ini menampilkan sebuah contoh:

Berikut ini adalah tiga solusi bagi dilema Heinz yang ditawarkan oleh siswa siswa sekolah dasar dan menengah. Saya menyamarkan nama-nama mereka untuk menyederhanakan diskusi.

James (San Kelas 5) Mimgkin intrinya adalah seseorang yang penting dan memiliki sebuah toko dan si pria membeli barang-barang darinya, yang tidak bisa ia dapatkan di tempat lain Pol akan menyalahkan si pemilik karena tidak menyelamatkan sang istri terebet. Du tidak menyelamatkan seseorang yang penting, dan itu seperti membunuh dengan pistol atan pisau. Kamu bisa dihukum dengan kursi listrik akibat perbuatan itu. (Kohilberg, 1981. hlm. 265-266). JS SMU lika dia sedemikin peduli pada wanita itu sehingga harus mencuri untuk menyelamatkan nyawanya, maka dia harus melakukannya. Jika tidak, dia sharanya membiarkan wanita itu mati. Semuanya terserah padanya. (Kohlberg.1981. m. 132)

 Jules (Sowa SMU) Dalam situasi khusus seperti itu. Heinz sudah melakukan sesuatu yang benar. Di mata hukum, dia mungkin melakukan hal yang salah, terapi secara moral dia melakukan hal yang benar. Saat semua alternatif telah dicoba dan tidak ada jalan lain, saya pikir masuk alal untuk mencuri demi menyelamatkan sebuah kehalupa (Kohlberg, 1984, kilm. 446-447).

Setiap anak memiliki alasan yang berbeda-beda untuk membenarkan alasan Heinz mencuri obat yang dapat menyelamatkan hidup istrinya tersebut. James mendasarkan keputusannya pada kebutuhan satu orang saja “si pemilik”. Tidaklah jelas siapa si pemilik yang dimaksud James, tapi James jelas tidak mengkhawatirkan istri Heinz yang sekarat. Jesse juga mengajukan pandangan yang terfokus pada diri sendiri, dengan mengatakan bahwa keputusan mencuri obat itu tergantung kepada seberapa besar Heinz mencintai istrinya. Hanya Jules yang mempertimbangkan nilai hidup manusia dalam membenarkan tindakan Heinz yang melanggar hukum itu.

         Setelah mengumpulkan ratusan respons mengenai dilema moral ini, seorang pelopor penelitian perkembangan, Lawrence Kohlberg, menyatakan bahwa perkembangan penalaran moral dicirikan oleh enam rangkaian tahapan yang dikelompokkan menjadi tiga level umum moralitas moralitas prakonvensional, moralitas konvensional, dan moralitas postkonvensional (lihat 3.5). Seorang anak yang memiliki moralitas prakonvensional (mentional morality) belum mengadopsi atau menginternalisasikan nila-talu masyarakat menyangkut apa yang benar atau salah, dan berfokus terutama pada konsekuensi-konsekuensi eksternal yang mungkin ditimbulkan oleh tindakan tertentu Respons James terhadap dilema Heinz merupakan contoh yang tepat mengenal pemikiran prekonvensional (Level 1). James mempertimbangkan konsekuensi tindakan Heinz terhadap satu individu tertentu tanpa memperhatikan standar hukum ata moral dari tindakan tersebut. Kohlberg, juga mengklasifikasikan respons Jesse sebaga pons prakonvensional (Level 2). Jesse mulai menyadari pentingnya menyelamatkan hidup orang lain, tetapi keputusan untuk melakukannya sepenuhnya tergantung pada apakah Heinz mencintal intrinya atau tidak. Dengan kata lain, tindakan Heinz hatty tergantung pada perasaan.

          Moralitas konvensional (conventional morality) dicirikan oleh penerimaan terhadap kaidah kaidah masyarakat mengenai yang benar dan yang salah. Pada tahap ini, individu mematuhi peraturan dan norma sosial bahkan ketika tidak ada konsekuensi dari kepatuhan ataupun pelanggaran terhadapnya. Meski demikian, kepatuhan terhadap peraturan dan kaidah-kaidah masyarakat tersebut agak kaku, dan layak (appripriate) dan fair tidaknya peraturan tersebut jarang dipertanyakan.

           Sebaliknya, orang-orang yang menunjukkan moralitas postkonvensional (pestconventional marality) memandang peraturan sebagai mekanisme yang bermanfaat namun dapat diubah demi menjaga stabilitas sosial secara umum dan melindungi hak-hak manusia; peraturan-peraturan itu bukanlah prinsip-prinsip absolut harus yang dipatuhi tanpa dipertanyakan. Para individu ini hidup dengan prinsip-prinsip abstrak mereka sendiri mengenai yang benar dan yang salah-prinsip-prinsip yang lazimnya mencakup hak-hak dasar manusia seperti kehidupan, kebebasan, dan keadilan. Merekan bisa saja melanggar peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip mereka, seperti yang kita saksikan pada respons Jules (Level 5) terhadap dilema Heinz: “Di mata hukum, dia mungkin salah, tetapi secara moral dia benar”.

                Anda dapat melihat contoh-contoh penalaran moral anak-anak dalam klip video “Moral Reasoning” di Ormrod Teacher Prep Course. Video tersebut menampilkan penalaran yang diajukan empat orang anak terhadap sebuah dilema. Dalam dilema tersebut, seorang anak laki-laki bernama Steve menyontek dalam ujian sejarah karena waktu belajarnya kebanyakan dihabiskan untuk bekerja. Keempat anak itu menyimpulkan bahwa Steve tidak seharusnya berbuat curang dalam tes namun dengan alasan yang berbeda. Dua anak yang pertama (yang lebih muda), yang hanya memikirkan konsekuensi negatif yang dihadapi Steve, menampilkan penalaran prakonvensional: “Dia akan dikeluarkan dari kelas”, “Dia akan tertangkap basah.” Sebaliknya, dua anak terakhir (yang lebih tua) mempertimbangkan ekspektasi masyarakat terhadap tingkah laku dan karena menampilkan penalaran konvensional: “Dengan menyontek, dia akan mendapatkan nilai ujian orang lain, bukan nilainya sendiri”, “Dia seharusnya memperhatikan pelajaran sejak awal”.

Demikian referensi buku ajar dengan judul Psikologi Pendidikan apabila membutuhkan layanan jasa self publishing, jasa penerbitan buku, jasa penulisan buku, jasa editing buku untuk bahan ajar ataupun untuk keperluan lain Dapat menghubungi admin RuangBuku.

Sumber: Psikologi Pendidikan Jeanne Ellis Ormrod ( Erlangga 2008)