Psikologi Pendidikan 3-14

RuangBuku.id – Kami melayani jasa self publishing, jasa penerbitan buku, jasa penulisan buku, jasa editing buku untuk bahan ajar ataupun untuk keperluan lain Namun, sebelum itu, anda bisa menyimak bahasan di bawah ini mengenai Buku Ajar Psikologi Pendidikan .

Pendahuluan

Banyak penelitian mengenai perkembangan moral sedikit banyak mengikuti penelitian Kohlberg. Beberapa penelitian mendukung tahapan penalaran moral yang dikemukakan Kohlberg: Secara umum, perkembangan penalaran moral setiap orang tampaknya sesuai yang didalilkan Kohlberg (Boom, Brugman, & Van Der Heijden, 2001; Colby & Kohlberg, 1984; Snarey, 1995; Stewart & Pascual-Leone, 1992). Meskipun demikian, para psikolog kontemporer telah mengidentifikasi beberapa kelemahan dalam teori Kohlberg. Pertama, Kohlberg memasukkan baik isu-isu moral (misalnya menimbulkan gangguan fisik) dan kaidah-kaidah masyarakat (conventions) (misalnya, keberadaan peraturan-peraturan yang bertujuan mengatur jalannya kehidupan bersama) dalam pandangannya mengenai moralitas. Meski demikian, sebagaimana telah kita lihat, anak-anak membedakan kedua ranah ini, dan pandangan masing-masing mereka terhadap setiap ranah mungkin berubah-ubah seiring waktu (Nucci, 2001). Kedua, Kohlberg hanya memberikan sedikit perhatian pada satu aspek moralitas yang sangat penting: menolong dan menunjukkan bela rasa terhadap orang lain (kita akan membahas poin ini lebih mendalam dalam topik mengenai perbedaan jender). Ketiga, Kohlberg juga cenderung meremehkan kemampuan anak-anak yang masih belia, yang seperti telah kita pelajari sebelumnya telah memperoleh beberapa standar internal mengenai yang benar dan yang salah jauh sebelum mereka memasuki taman kanak-kanak atau sekolah dasar. Terakhir, Kohlberg mengabaikan faktor-faktor situasional yang dipertimbangkan anak-anak belia saat memutuskan apa yang secara moral benar ataupun salah dalam konteks yang spesifik (Rest, Narvaez, Bebeau, & Thoma, 1999). Sebagai contoh, anak-anak cenderung menganggap berdusta sebagai perbuatan yang tidak bermoral jika perbuatan tersebut merudikan orang lain; namun berdusta tidak dipandang sebagai perbuatan yang tidak bermoral jika tidak memiliki dampak yang merugikan artinya, bila itu merupakan bentuk “dusta putih” (white lie) (Helwig, et. al., 2001; Turiel, Smetana, & Killen, 1991).

Banyak psikolog perkembangan kontemporer meyakini bahwa penalaran moral melibatkan tren yang bersifat umum (general trend) alih-alih terjadi dalam tahapan tahapan yang berbeda-beda (distinct stages). Tampak bahwa anak-anak dan remaja secara berangsur-angsur memiliki beberapa standar yang berbeda-beda, yang menuntun penalaran moral dan pengambilan keputusan mereka dalam situasi yang berbeda beda. Standar-standar itu di antaranya: perlunya memenuhi kepentingan pribadinya sendiri, hasrat untuk mematuhi berbagai kaidah dan peraturan bermasyarakat, dan pada akhirnya apresiasi terhadap ideal-ideal yang abstrak mengenai hak-hak asasi manusia dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan (Rest et. al., 1999). Seiring bertambahnya usia, anak-anak muda semakin mampu menerapkan standar-standar yang lebih tinggi (advanced). Meski demikian, terkadang standar yang tergolong cukup primitif seperti memuaskan kebutuhan diri sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan orang lain terkadang menjadi prioritas (Rest et. al., 1999; Turiel, 1998).

TABEL 3.5 MEMBANDINGKAN/ MENGONTRASKAN

Tiga Level dan Enam Tahap Penaralan Moral menurut Kohlberg

LevelRentang UsiaTahapEsensi Penalaran Moral
Level 1: Moralitas prakonvensionalDitemukan pada anak-anak prasekolah, sebagian besar anak anak SD, sejumlah siswa SMP, dan segelintir siswa SMUTahap 1: Hukuman – penghindaran dan kepatuhan (Punishment avoidance and obedience)Orang membuat keputusan berdasarkan apa yang terbaik bagi mereka, tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau perasaan orang lain. Orang mematuhi peraturan hanya jika peraturan tersebut dibuat oleh orang-orang yang orang lebih berkuasa, dan mereka mungkin melanggarnya bila mereka merasa pelanggaran tersebut tidak ketahuan lain. Perilaku yang “salah” adalah perilaku yang akan mendapatkan hukuman.
Tahap 2: Saling memberi dan menerima (Exchange of favors)Orang memahami bahwa orang lain juga memiliki kebutuhan. Mereka mungkin mencoba memuaskan kebutuhan orang lain apabila kebutuhan mereka sendiri pun akan terpenuhi melalui perbuatan tersebut (“bila kamu mau memijat punggungku; aku pun akan memijat punggungmu”). Mereka masih mendefinisikan yang benar dan yang salah berdasarkan konsekuensinya bagi diri mereka sendiri.
Level 2: Moralitas konvensionalDitemukan pada segelintir siswa SD tingkat akhir, sejumlah siswa SMP, dan banyak siswa SMU (Tahap 4 biasanya tidak muncul sebelum masa SMU)Tahap 3: Anak baik (good boy/good girl)Orang membuat keputusan melakukan tindakan tertentu semata-mata untuk menyenangkan orang lain, terutama tokoh-tokoh yang memiliki otoritas (seperti guru, teman sebaya yang populer). Mereka sangat peduli pada terjaganya hubungan persahabatan melalui sharing, kepercayaan, dan kesetiaan, dan juga mempertimbangkan perspektif serta maksud orang lain ketika membuat keputusan.
Tahap 4: Hukum dan tata tertib (Law and keteraturan)Orang memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh yang menyediakan pedoman bagi perilaku. Mereka memahami bahwa peraturan itu penting untuk menjamin berjalan harmonisnya kehidupan bersama, dan meyakini bahwa tugas mereka adalah mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Meskipun begitu, mereka menganggap peraturan itu bersifat kaku (tidak fleksibel); mereka belum menyadari bahwa sebagaimana kebutuhan masyarakat berubah-ubah, peraturan pun juga seharusnya berubah.
Level 3: Moralitas postkonvensionalJarang muncul sebelum masa kuliahTahap 5: Kontrak sosial (Social contract)  Orang memahami bahwa peraturan-peraturan yang ada merupakan representasi dari persetujuan banyak individu mengenai perilaku yang dianggap tepat. Peraturan dipandang sebagai mekanisme yang bermanfaat untuk memelihara keteraturan sosial dan melindungi hak-hak individu, alih-alih sebagai perintah yang bersifat mutlak yang harus dipatuhi semata-mata karena merupakan “hukum”. Orang juga memahami fleksibilitas sebuah peraturan; peraturan yang tidak lagi mengakomodasi kebutuhan terpenting masyarakat bisa dan harus diubah.
Tingkat 6: Prinsip etika universal (tahap ideal yang bersifat hipotetis, yang hanya dicapai segelintir orang)Orang-orang setia dan taat pada beberapa prinsip abstrak dan universal (misalnya, kesetaraan semua orang, penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, komitmen pada keadilan) yang melampaui norma-norma dan peraturan-peraturan yang spesifik. Mereka sangat mengikuti hati nurani dan karena itu bisa saja melawan peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis mereka sendiri.
  • Seiring bertambahnya usia, anak-anak berperilaku semakin selaras dengan standar-standar moral pilihan mereka sendiri. Perilaku moral anak-anak berkorelasi dengan penalaran moral mereka (Blasi, 1980; Eisenberg, Zhou, & Koller, 2001; Reimer et. al., 1983). Sebagai contoh, anak-anak dan remaja yang, berdasarkan perspektif Kohlberg, melakukan penalaran pada tahap yang lebih tinggi cenderung jarang berbuat curang (seperti menyontek saat ujian) atau mencemooh orang lain, umumnya lebih lebih senang menolong orang lain yang membutuhkan, dan lebih sering menolak mematuhi perintah yang akan menimbulkan kerugian bagi orang lain (F. H. Davidson, 1976; Kohlberg, 1975; Kohlberg & Candee, 1984; P. A. Miller, Eisenberg, Fabes, & Shell, 1996).

Meskipun demikian, korelasi antara penalaran moral dan perilaku moral bukanlah suatu korelasi yang kuat. Kemampuan anak-anak mempertimbangkan perspektif orang lain dan emosi mereka (rasa malu, perasaan bersalah, empati, simpati) juga memengaruhi keputusan-keputusan mereka untuk berperilaku secara moral ataupun sebaliknya (Batson, 1991; Damon; 1988; Eisenberg, Zhou, & Koller, 2001). Kebutuhan dan tujuan personal anak-anak biasanya juga turut berperan. Sebagai contoh, meskipun anak-anak mungkin ingin melakukan hal yang benar, mereka mungkin juga memikirkan apakah orang lain menyetujui tindakan mereka serta apa konsekuensi positif atau negatifnya yang mungkin terjadi. Anak-anak lebih cenderung berperilaku selaras dengan standar moral mereka jika manfaatnya tinggi (misalnya, mereka meraih persetujuan atau respek orang lain) dan “biaya” personalnya rendah (misalnya, tidak memerlukan pengorbanan yang tinggi) (M. L. Arnold, 2000; Batson & Thompson, 2001; Narvaez & Rest, 1995).

Demikian referensi buku ajar dengan judul Psikologi Pendidikan apabila membutuhkan layanan jasa self publishing, jasa penerbitan buku, jasa penulisan buku, jasa editing buku untuk bahan ajar ataupun untuk keperluan lain Dapat menghubungi admin RuangBuku.

Sumber: Psikologi Pendidikan Jeanne Ellis Ormrod ( Erlangga 2008)