Psikologi Pendidikan 3-17

RuangBuku.id – Kami melayani jasa self publishing, jasa penerbitan buku, jasa penulisan buku, jasa editing buku untuk bahan ajar ataupun untuk keperluan lain Namun, sebelum itu, anda bisa menyimak bahasan di bawah ini mengenai Buku Ajar Psikologi Pendidikan .

Pendahuluan

Perbedaan-perbedaan Jender

Sejumlah peneliti menemukan perbedaan jender terkait self-esteem secara keseluruhan. Anak laki-laki memiliki persepsi diri yang lebih positif dibandingkan anak perempuan, terutama pada masa remaja. Remaja laki-laki juga memiliki persepsi diri yang lebih positif mengenai daya tarik fisik mereka dibandingkan remaja perempuan. Secara keseluruhan, kebanyakan persepsi diri para siswa cenderung sesuai dengan stereotip mengenai “keunggulan” pria dan wanita. Sebagai contoh, anak laki-laki cenderung me nilai diri mereka lebih unggul dalam matematika dan olahraga, dan anak perempuan cenderung menilai diri mereka lebih unggul dalam bahasa dan sastra (D. A. Cole et. al., 2001; Eccles, Wigfield, & Schiefeld, 1998; Harter, 1999; Herbert & Stipek, 2005; Wigfield et. al., 1996).

                Perbedaan jender juga telah diamati dalam perilaku interpersonal. Anak laki-laki cenderung bergaul dalam kelompok besar sedangkan anak perempuan cenderung menyukai kelompok yang lebih kecil dan intim, bersama sahabat-sahabat dekatnya (Maccoby, 2002). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, agresi cenderung diwujudkan secara berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki cenderung melakukan agresi fisik sedangkan anak perempuan cenderung melakukan agresi relasional, seperti merusak hubungan pertemanan dan menjelek-jelekkan reputasi orang lain.

                Secara rata-rata, dibandingkan anak laki-laki, anak perempuan lebih dominan memiliki perasaan bersalah, malu, dan empati-emosi-emosi yang diasosiasikan dengan perilaku moral (Lippa, 2002; A. J. Rose, 2002; Zahn-Waxler & Robinson, 1995). Namun apakah anak laki-laki dan perempuan bernalar secara berbeda mengenai situasi yang memiliki implikasi moral? Dalam penyajiannya tentang dilema moral kepada anak-anak laki-laki dan perempuan, Kohlberg menemukan bahwa anak perempuan, secara rata rata, melakukan penalaran moral Tahap 3, sedangkan anak laki-laki lebih cenderung bernalar pada Tahap 4 (Kohlberg & Kramer, 1969). Meski demikian, psikolog Carol Gilligan mengemukakan bahwa tahap-tahap perkembangan moral Kohlberg tidak mampu mendeskripsikan perkembangan moral perempuan secara memadai (Gilligan, 1982, 1987; Gilligan & Attanucci, 1988). Secara khusus, Gilligan menyatakan bahwa tahap tahap perkembangan moral Kohlberg mencerminkan suatu orientasi keadilan (justice orientation)-suatu penekanan pada fairness dan kesetaraan yang menjadi ciri khas penalaran moral laki-laki. Sebaliknya, perempuan lazimnya dididik untuk menerapkan orientasi kepedulian (care orientation) dalam konteks isu moral-dengan kata lain, berfokus pada hubungan interpersonal dan tanggung jawab terhadap kebaikan orang lain. Untuk melihat perbedaan kedua orientasi tersebut, kerjakanlah latihan berikut ini.

Perbedaan-perbedaan Sosioekonomi

Anak-anak dan remaja dari beragam latar belakang tumbuh dengan menghadapi tantangan-tantangan mungkin mereka harus menghadapi penyakit yang parah, tinggal bersama orangtua tunggal (single parent), atau mengalami konflik keluarga. Secara khusus, anak-anak dan remaja yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah seringkali mengalami tantangan-tantangan berat tersebut. Barangkali, sebagai akibat dari tantangan-tantangan semacam itu, para anak dan remaja tersebut cenderung memiliki self-esteem yang lebih rendah dan berisiko lebih besar mengalami ketimbang teman sebayanya yang lebih sejahtera (Becker & Luthar, 2002; Seaton et al., 1999; R. D. Taylor, Rodriguez, Seaton, & Dominguez, 2004).

                Meski demikian, patut dicamkan bahwa lingkungan berpenghasilan rendah tidak selalu menimbulkan dampak merugikan. Banyak anak dan remaja yang tumbuh dalam lingkungan keluarga berpenghasilan rendah memiliki konsep diri yang positif, hubungan interpersonal yang baik, dan standar-standar moral yang kuat (D. Hart & Fegley, 1995; Masten & Coatsworth, 1998). Guru-guru yang suportif serta orang-orang dewasa yang lain dapat membuat banyak sekali perbedaan bagi anak-anak muda ini, sebagaimana akan kita temukan dalam pemabahasan mengenai siswa-siswa yang tangguh (resilient students) dalam Bab 4.

Mengakomodasi Siswa-siswa Berkebutuhan Khusus

Beberapa siswa memiliki kebutuhan pendidikan khusus sesuai dengan perkembangan pribadi dan sosial mereka. Banyak siswa dengan ketidakmampuan kognitif, sosial ataupun fisik memiliki self-esteem yang lebih rendah dibandingkan teman-teman sekelas mereka (Brown-Mizuno, 1990; T. Bryan, 1991; Marsh & Craven, 1997). Siswa-siswa dengan keterbelakangan mental umumnya memiliki pemahaman yang sangat terbatas mengenai cara berperilaku yang tepat dalam situasi-situasi sosial (Greenspan & Granfield, 1992). Para siswa yang memiliki gangguan emosional ataupun perilaku mungkin juga memiliki keterbatasan dalam mempertimbangkan perspektif orang lain (perspective taking) dan dalam kemampuan memecahkan masalah sosial; akibatnya mereka hanya memiliki sedikit teman (itupun jika ada) (Harter et al., 1998; Lind, 1994). Selain itu, siswa dengan ketidakmampuan yang kompleks-terutama yang mengidap ADHD, gangguan spektrum autis, gangguan emosional dan perilaku, atau retardasi mental-bisa jadi mengalami kesulitan menarik kesimpulan yang akurat mengenai perilaku serta bahasa tubuh orang lain (Hobson, 2004; Leffert, Siperstein, & Millikan, 2000: Lochman & Dodge, 1994; Milch-Reich, Campbell, Pelham, Connelly, & Geva, 1999). Karakter karakter ini, bersama dengan strategi pengajaran yang disarankan, ditampilkan dalam Tabel 3.6.

TABEL 3.6 SISWA DALAM KONDISI INKLUSIF

Perkembangan Pribadi dan Sosial Para Siswa dengan kebutuhan Pendidikan Khusus

KategoriKarakteristik yang Dapat DiamatiStrategi Pengajaran yang Disarankan
Siswa dengan kesulitan kognitif atau akademis yang spesifikSelf-esteem yang rendah sehubungan dengan area-area kesulitan akademik (terutama jika ketidakmampuan belajar belum terdiagnosis)Tingginya kerentanan terhadap tekanan rekan sebaya (terutama pada siswa-siswa yang mengalami hambatan belajar atau ADHD)Kesulitan dalam mempertimbangkan perspektif orang lain (perspective taking) atau menafsirkan situasi sosial secara akurat (terutama pada siswa yang mengalami hambatan belajar atau ADHD)Dalam sejumlah kasus, terdapat keterampilan Sosial yang rendah dan hubungan pertemanan yang rendah; adanya kecenderunganbertindak tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan tersebut (terutama pada siswa yang mengalami ADHD)Doronglah kesuksesan akademik; misalnya dengan menyediakan “scaffolding” ekstra (lihat teori Vygotsky) dalam pengerjaan tugas-tugas akademik.Berikan siswa kesempatan untuk atau memamerkan hal-hal di mana mereka tampil dengan baik.Gunakanlah induksi untuk meningkatkan kemampuan perspective taking (misalnya dengan memusatkan perhatian siswa pada kerugian atau kesusahan yang mungkin dialami orang lain akibat perilaku mereka). Ajarkanlah keterampilan-keterampilan sosial yang belum dimiliki siswa.
Siswa yang memiliki masalah-masalah sosial atau perilakuPenolakan dari teman sebaya; kurang banyak temanMinimnya hubungan emosional dengan orang lain (terutama pada siswa autis)Kesulitan mempertimbangkan perspektif orang lain dan memahami kondisi emosional orang lainKurangnya kemampuan menafsirkan isyarat isyarat sosial (misalnya merasa dimusuhi sekalipun interaksi yang sesungguhnya baik baik saja) Keterbatasan keterampilan sosial dan kemampuan pemecahan masalah sosial; keterbatasan kesadaran mengenai betapa minimnya keterampilan sosial yang dimilikinyaKontrol impuls yang rendah; kesulitan mengendalikan emosiKurangnya empati terhadap orang lainAjarkan secara eksplisit keterampilan keterampilan sosial, berikan siswa kesempatan untuk berlatih, dan berikan umpan-balik. Buat dan tegakkan aturan-aturan yang tegas mengenai perilaku yang dapat diterima di kelas.Tunjukkan dan pujilah perilaku-perilaku yang tepat.Ajarkanlah strategi-strategi pemecahan masalah sosial (misalnya melalui pelatihan mediasi; lihat Bab 10).Berikan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh teman-teman baru (misalnya melalui kegiatan pembelajaran kooperatif yang terstruktur dan diawasi dengan baik).Bantulah siswa mengenali tanda-tanda yang kelihatan yang menyertai beraneka macam emosi.Gunakanlah induksi untuk mendorong sikap empati dan kemampuan mempertimbangkan perspektif orang lain.
Siswa yang mengalami keterlambatan umum dalam fungsi sosial dan kognitifSecara umum memiliki self-esteem yang rendahTingkat keterampilan sosialnya seperti yang lazimnya dimiliki anak darinya yang lebih mudaKesulitan mengidentifikasi dan menafsirkan isyarat-isyarat sosialIde-ide mengenai yang benar dan yang salah yang acapkali konkret dan prakonvensionalBerikan bimbingan (“scaffolding”, lihat teori Vygotsky) yang diperlukan siswa untuk meraih kesuksesan akademik.Ajarkan keterampilan-keterampilan sosial, sediakan kesempatan berlatih, dan berikan umpan-balik.Tetapkanlah peraturan-peraturan berperilaku di dalam kelas secara eksplisit dan konkret.Tunjukkan dan pujilah perilaku yang tepat.
Siswa yang memiliki hambatan fisik atau sensorikHanya memiliki sedikit teman dan kemungkinan mengalami isolasi sosialKurangnya kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan mempertimbangkan perspektif orang lainMaksimalkan kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya.   Tunjuklah siswa tertentu (teman kelas) untuk mendampingi siswa yang mengalami hambatan tersebut mengerjakan tugas-tugasnya, yang tidak bisa diselesaikannya karena keterbatasannya itu.   Ajarkanlah keterampilan-keterampilan sosial yang belum dimiliki siswa.
Siswa dengan tingkat perkembangan kognitif yang tinggiSelf-esteem yang tinggi dalam mengerjakan tugas-tugas akademis (terutama bagi laki laki)Perkembangan sosial dan penyesuaian emosional di atas rata-rata (meskipun beberapa siswa yang sangat berbakat mungkin mengalami kesulitan karena mereka sangat berbeda dari rekan-rekan sebayanya)Konflik antara kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan dan meraih penerimaan teman-teman sebayanya (terutama bagi perempuan)Kemampuan yang lebih besar untuk mempertimbangkan perspektif orang lainPenalaran moral yang lebih maju pada beberapa siswaMunculnya kepedulian terhadap isu moral dan etis pada usia yang lebih muda dibandingkan temanteman sebayanyaPekalah terhadap kekhawatiran siswa mengenai bagaimana kemampuan mereka yang superior bisa memengaruhi hubungannya dengan teman teman sekelasnya.Libatkan siswa dalam percakapan mengenai isu isu etik dan dilema-dilema moral. Libatkan siswa dalam proyek-proyek yang membahas masalah sosial pada level komunitas, nasional, ataupun internasional.

Gambaran Besar

Dari berbagai topik yang ditampilkan dalam bab ini, ada beberapa tema umum yang menonjol:

                Interaksi dengan sesama memberikan dorongan bagi kemajuan banyak kualitas pribadi dan sosial. Interaksi sosial sangat penting tidak hanya bagi perkembangan kognitif dan bahasa anak (lihat Bab 2), tetapi juga bagi perkembangan pribadi dan sosial mereka. Sebagai contoh, siswa mempelajari banyak hal mengenai kelebihan dan kekurangan mereka melalui observasi dan interaksi dengan orang lain. Hubungan dengan rekan sebaya menjadi wadah untuk melatih berbagai keterampilan sosial yang ada dan bereksperimen dengan keterampilan-keterampilan baru. Dan perbincangan mengenai topik-topik dan isu-isu moral yang kontroversial mendorong berkembangnya kemampuan mempertimbangkan perspektif orang lain dan penalaran moral yang semakin baik.

                Standar-standar perilaku yang dapat diterima, serta alasan-alasan menegakkan standar-standar ini sangat esensial bagi perkembangan yang optimal . Anak-anak yang memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik umumnya tumbuh dalam lingkungan otoritatif (bukan otoritarian; lihat penjelasan dalam bab ini), di dalamnya aturan-aturan perilaku yang baik ditetapkan dengan jelas, demikian pula alasan-alasan yang melandasi aturan-aturan tersebut serta konsekuensi negatif terhadap setiap pelanggarannya. Kemampuan mempertimbangkan perspektif orang lain dan perkembangan moral meningkat ketika manakala hukuman disertai induksi-yaitu, dengan menjelaskan bagaimana perilaku menyimpang seseorang bisa menimbulkan kerugian fisik atau emosional bagi orang lain. Sebagai guru, kita harus mengomunikasikan secara jelas kepada siswa mengenai perilaku-perilaku yang dapat (dan tidak dapat) diterima di sekolah, serta menjelaskan mengapa perilaku-perilaku tertentu tidak bisa ditoleransi.

                Lingkungan yang hangat dan suportif sangatlah kondusif bagi perkembangan anak dan remaja. Sebagaimana telah kita pelajari, lingkungan yang penuh kehangatan namun tegas merupakan aspek yang penting dalam pola asuh otoritatif (lihat penjelasan mengenai empat tipe pola asuh dalam bab ini). Umpan balik yang positif memainkan peranan penting dalam perkembangan perasaan-diri (sense of self siswa. Lebih lanjut, siswa lebih mungkin mengekspresikan ide-ide mereka mengenai isu-isu moral dalam kelas di mana mereka merasa bebas mengekspresikan pandangannya secara terbuka dan jujur.

                Pemahaman pribadi, sosial, dan moral siswa dikonstruksi sendiri (self-constructed). Sebagaimana anak-anak dan remaja mengonstruksi pengetahuan dan kepercayaan mereka mengenai dunia fisik, demikian pula mereka mengonstruksi kepercayaan terhadap dirinya sendiri (seperti konsep diri dan identitas), hakikat orang lain (misalnya tafsiran mereka terhadap motif dan niat teman sebaya), dan moralitas (misalnya definisi mereka tentang yang benar dan yang salah). Sebagai guru, kita harus menciptakan banyak kesempatan bagi siswa untuk mengkaji dan mengkaji ulang pemahaman-pemahaman mereka terhadap dirinya sendiri sekaligus terhadap orang lain. Pelajaran yang terkandung dalam latihan berikut dapat dijadikan contoh.

Demikian referensi buku ajar dengan judul Psikologi Pendidikan apabila membutuhkan layanan jasa self publishing, jasa penerbitan buku, jasa penulisan buku, jasa editing buku untuk bahan ajar ataupun untuk keperluan lain Dapat menghubungi admin RuangBuku.

Sumber: Psikologi Pendidikan Jeanne Ellis Ormrod ( Erlangga 2008)